Reforma Agraria di Filipina
Diantara keberhasilan program Reforma Agraria yang berjalan di Filipina, juga salah satunya adalah keberhasilan untuk menjaga kelestarian hak-hak agraria masyarakat adat. Dari hasil kunjungan belajar KPA bersama Kementerian ATR/BPN terakhir ke Filipina, diperoleh gambaran yang cukup jelas dan menggembirakan mengenai hak-hak agraria bagi kaum adat di sana. Tidak hanya bagi kaum adat, reforma agraria di bawah Comprehensive Agrarian Reform Program (CARP) atau semacam UUPA di Filipina memang cukup dapat dikatakan berhasil. Sebuah program kompherensif Reforma Agraria yang berhasil merombak struktur kepemilikan tanah di Filipina pada tahun 1987-2000an.
Reforma Agraria di Filipina melahirkan 3 buah lembaga setingkat kementerian yang masing-masing mengatur dan mengurusi persoalan agraria di tiga cakupan yang berbeda. Ketiganya adalah Department Agrarian Reform (DAR) yang mengurusi land dan access reform bagi rakyat Filipina; National Council for Indigeneous People (NCIP) yang mengurusi hak-hak masyarakat adat; dan yang terakhir Department of Environment and Natural Resource (DENR), yang mengurusi usaha-usaha ekstraktif di kawasan perhutanan atau pertambangan.
NCIP adalah sebuah bukti keberhasilan perlindungan hak-hak masyarakat adat, terutama hak agrarianya. Masyarakat adat di Filipina memiliki jaminan tanah adatnya secara komunal dan melalui mekanisme yang jelas mengenai penentuan siapa masyarakat adat itu sendiri. Seseorang dapat dikatakan masuk sebagai bagian dari masyarakat adat jika minimal terdapat 25% darah keturunan salah satu masyarakat yang ada.
Implementasi Reforma Agraria atau CARP di FIlipina, termasuk strategi dan berbagai kesulitan didalamnya. Dalam paparannya, hampir seluruh departemen menyatakan bahwa strategi keberhasilan implementasi terletak dari adanya koordinasi yang baik antar departemen serta terdapat perumusan tujuan kebijakan yang jernih dan terukur. Sehingga, CARP mampu berjalan selama puluhan tahun dan bertahan hingga kini. Disamping itu, mereka juga menyebut beberapa kesulitan dalam CARP, salah satunya adalah penolakan-penolakan yang dilakukan oleh tuan tanah atau landlords yang memiliki dan menguasai berhektar-hektar tanah. Seperti yang kita tahu, lahan dari tuan-tuan tanah jika melebihi batas kepemilikan maksimum dalam CARP maka akan menjadi salah satu objek Refroma Agraria yang akan diredistribusi.
Melalui dukungan alas hukum yang cukup kuat dan lengkap, CARP terbilang sukses meredistribusikan banyak bidang lahan ke penerima manfaat sesuai dengan sasaran. Disamping itu dukungan dari birokrasi dan aparat keamanan negara, seperti polisi dan militer semakin mendorong kesuksesan implementasi CARP. Namun di sisi lain, program tersebut masih menyimpan kelemahan, salah satunya ialah secara kelembagaan, dimana departemen dan lembaga yang menjadi implementing agency masih belum berada dalam satu kelembagaan yang terintegrasi. Selain itu, dalam proses perencanaan implementasi, masih didominasi elite politik, baik di eksekutif maupun legislative, masih cenderung minim pelibatan organisasi rakyat secara langsung dalam perencanaan.
Kemudian, secara umum terdapat beberapa poin penting yang kami garisbawahi dari diskusi dengan beberapa departemen dan lembaga negara di Filipina terkait CARP, antara lain, terdapat kesamaan terkait doktrin “tanah negara” dengan Indonesia, dimana semua tanah di Filipina adalah dikuasai oleh negara. Dengan doktrin tersebut, pemerintah melalui CARP mendorong perwujudan dari pemilikan dan penguasaan atas sumber agraria yang lebih adil di Filipina, dimana para petani penggarap menjadi subjek penerima lahan dari CARP, baik melalui hak milik pribadi, maupun komunal. Masing-masing memiliki batas maksimum kepemilikan atau penguasaan tanah seluas 5 Ha per individu. Lahan hasil redistribusi tidak boleh dijual ke pihak lain selama 10 tahun.
Referensi : http://www.kpa.or.id
ADS HERE !!!